kita tidak akan pernah meraih apa yang ada di depan kita, bila kita tidak mau melepaskan apa yang ada di belakang kita

mutiara kata

semua orang dapat membahagiakanmu dengan sesuatu yang istimewa, tapi hanya seorang istimewa yang dapat membahagiakanmu tanpa apapun, Insya Allah itu aku

Senin, 20 Februari 2012

makalah psikologi


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan istilah jiwa, nyawa, ruh, dan berbagai kata lain yang senada. Jauh sebelumnya istilah itu juga telah begitu lekat dalam kosakata bahasa yang digunakan dalam ragam budaya yang berbeda. Peruntukkan istilah tersebut merujuk dalam diri manusia yang tidak terlihat dan hanya dapat dirasakan. Bentukan halus yang tidak tampak itu menimbulkan kesulitan sendiri dalam memberikan pengertian yang tepat, dari fakta inilah maka muncullah ilmu psikologi.
Istilah perkembangan dalam psikologi merupakan sebuah konsep yang cukup rumit dan kompleks. Di dalamnya terkandung banyak dimensi. Perkembangan tidak terbatas pada pengertian pertumbuhan yang semakin membesar, melainkan didalamnya juga terkandung serangkaian perubahan yang berlangsung secara-terus menerus dan bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju ketahap kematangan.
 Perkembangan psikososial berhubungan dengan perubahan-perubahan perasaan atau emosi dan kepribadian serta perubahan dalam bagaimana individu berhubungan dengan orang lain. Seperti halnya tahapan perkembangan yang telah dikemukakan oleh Erikson yaitu tahap krisis perkembangan dimana dalam setiap tahapan inilah yang harus dihadapi oleh seorang individu, baik sukses maupun melewati kegagalan.
Seiring dengan perkembangan sosial, anak-anak usia prasekolah juga mengalami perkembangan moral. Adapun yang dimaksud dengan perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral. Tetapi memiliki potensi moral untuk dikembangkan.
B.       Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian psikologi?
2.         Apa pengertian psikologi perkembangan?
3.         Bagaimana tahapan perkembangan Erikson?
4.         Bagaimana tahapan perkembangan moral?

C.      Tujuan Penulisan Makalah
1.         Mengetahui pengertian psikologi
2.         Mengetahui pengertian psikologi perkembangan
3.         Mengetahui urutan tahapan perkembangan Erikson
4.         Mengetahui urutan tahapan perkembangan Moral

D.      Manfaat Penulisan Makalah
1.         Menambah pengetahuan tentang psikologi terutama tentang perkembangan Erikson dan Moral


BAB II
PEMBAHASAN


A.      Psikologi
Secara etimologis, psikologi berasal dari bahasa Yunani  psyche yang berarti jiwa (soul, mind) dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Dengan demikian, psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang jiwa.
Secara ringkas berikut ini terdapat beberapa pengertian psikologi yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain :
1.        Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.(Aritoteles dan Plato)
2.        Psikologi bertugas menyelidiki apa yang kita sebut pengalaman bagian dalam sensasi dan perasaan kita sendiri, pikiran serta kehendak kita yang bertolak belakang dengan setiap objek pengalaman luar yang melahirkan pokok permasalahan ilmu alam.(Wundt)
3.        Bagi aliran behaviorisme psikologi merupakan bagian dari ilmu alam yang menekankan perilaku manusia, perbuatan dan ucapannya baik yang dipelajari maupun yang tidak sebagai pokok masalah.(Watson)
4.        Psikologi biasanya didefinisikan sebagai studi ilmiah mengenai perilaku. Lingkupnya mencakup berbagai proses perilaku yang dapat diamati, seperti gerak tangan, cara berbicara dan perubahan kejiwaan serta proses yang hanya dapat diartikan sebagai pikiran dan mimpi.(Clark dan Miller)
Dari beberapa definisi di atas dalam pandangan modern psikologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu mengenai tingkah laku yang mencari sebab-sebab kemunculan satu bentuk tingkah laku.

B. Psikologi perkembangan
Psikologi perkembangan yaitu psikologi yang menitikberatkan pembahasan dan penelitian pada proses-proses dasar dan dinamika perilaku manusia dalam berbagai tahap kehidupan, mulai dari masa konsepsi hingga meninggal dunia.
Secara ringkas berikut ini terdapat beberapa pengertian psikologi perkembangan yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain :
1.      Psikologi perkembangan adalah cabang psikologi yang memperubahan dan perkembangan struktur jasmani, perilaku, dan fungsi mental manusia, biasanya dimulai sejak terbentuknya makhluk itu melalui pembuahan hingga menjelang mati.(Linda L. Davidoff, 1991)
2.        Psikologi perkembangan sebagai pengetahuan yang mempelajari persamaan dan perbedaan fungsi-fungsi psikologis sepanjang hidup, mempelajari bagaimana proses berpikir pada anak-anak usia satu, dua, atau lima tahun, memiliki persamaan atau perbedaan, atau bagaimana kepribadian seseorang berubah dan berkembang dari anak-anak, remaja sampai dewasa.(M. Lerner, 1976)
Berdasarkan definisi di atas dapat diartikan bahwa psikologi perkembangan adalah cabang dari psikologi yang mempelajari secara sistematis perkembangan perilaku manusia secara ontogenetik, yaitu proses-proses yang mendasari perubahan-perubahan yang terjadi di dalam diri, baik perubahan dalam struktur jasmani, perilaku, maupun fungsi mental manusia sepanjang rentang hidupnya (life-span), yang biasanya dimulai sejak konsepsi hingga menjelang mati.
Seperti halnya dengan disiplin-disiplin lainnya ilmu lainnya, disiplin psikologi perkembangan bertujuan untuk memahami suatu gejala atau fenomena. Dengan memahami suatu fenomena, kita dapat membuat prediksi tentang kapan dan bagaimana akan terjadinya fenomena. Selanjutnya dengan pemahaman dan kemampuan prediksi tersebut, sampai batas-batas tertentu kita dapat mengendalikan fenomena itu. Untuk itu agar suatu gejala dalam psikologi perkembangan betul-betul dapat dimengerti, maka kita memerlukan teori.
Dalam pembahasan ini kita hanya membahas dua teori perkembangan, yaitu teori perkembangan psikososial Erikson dan teori perkembangan moral Kohlberg.



C.    Perkembangan Psikososial Erikson
Menurut Erik Erikson (1902-1994) psikososial dalam kaitannya dengan perkembangan manusia berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi  matang secara fisik dan psikologis.
  Dalam teori Erik Erikson terdapat delapan tahap perkembangan terbentang ketika kita melampaui siklus kehidupan. Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas dan mengedepankan individu dengan suatu krisis yang harus dihadapi. Bagi Erikson, krisis ini bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan (kerentanan) dan peningkatan potensi.
Semakin berhasil individu mengatasi krisis, akan semakin sehat perkembangan mereka. Berikut adalah beberapa tahap krisis perkembangan menurut Erik Erikson :
1.        Kepercayaan dan ketidakpercayaan (trust versus mistrust)
Adalah suatu tahap psikososial pertama yang dialami dalam tahun pertama kehidupan. Suatu rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan sejumlah kecil ketakutan serta kekhawatiran akan masa depan. Pada saat itu, peran ibu adalah sangat penting. Landasan awal  rasa percaya dari si bayi adalah perhatian dari ibu untuk memenuhi kebutuhan si bayi, jika perhatian dari sang ibu sesuai dengan yang dia inginkan maka bayi akan memperoleh kesan bahwa lingkungannya dapat menerima kehadirannya dan hal ini  akan menjadi landasan pertama bagi rasa percaya pada masa bayi. Sebaliknya, kalau ibu tidak memberi perhatian dan tidak  dapat memenuhi kebutuhan bayi, maka dalam diri bayi akan timbul rasa tidak percaya terhadap lingkungannya.
2.        Otonomi dengan rasa malu dan keragu-raguan (Autonomy versus shame and doubt)
Adalah tahap perkembangan kedua yang berlangsung pada masa bayi dan baru mulai berjalan (1-3 tahun). Setelah memperoleh rasa percaya kepada pengasuh mereka, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah atas kehendaknya. Jika dalam fase ini orang tua selalu mendorong mereka agar dapat melakukan sesuatu sendiri semisal dapat berdiri dan berjalan sendiri dengan cara ini anak akan menyadari kemauan mereka dengan rasa mandiri dan otonomi mereka. Tapi jika anak cenderung dibatasi maka mereka akan cenderung mengembangkan rasa malu dan keragu-raguan.
3.        Prakarsa dan rasa bersalah (initiative versus guilt)
Merupakan tahap ketiga yang berlangsung selama tahun-tahun prasekolah. Pada tahap ini anak terlihat sangat aktif. Jika orang tua memahami tentang keaktifan anak dan memberi kepercayaan anak maka anak bertanggung jawab meningkatkan prakarsa (inisiatif) yang mereka inginkan. Namun, perasaan bersalah dan enggan dapat muncul, bila anak tidak diberi kepercayaan dan orang tua tidak memahami tentana keaktifan anak.
4.        Kerajinan dan rendah diri (industry versus inferiority)
Berlangsung selama tahun-tahun sekolah dasar. Ketika anak-anak memasuki tahun sekolah dasar, mereka mengarahkan energi mereka pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Akan tetapi, apabila anak tidak dapat menguasai ketrerampilan intelektual dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru-guru dan orang tuanya, maka anak akan mengembangkan perasaan rendah diri.
5.        Identitas dan kekacauan identitas (identity versus identity confusion)
Adalah tahap kelima yang dialami individu selama tahun-tahun masa remaja. Pada tahap ini mereka dihadapkan dengan pencarian jati diri mereka. Mereka mulai merasa bahwa mereka siap untuk memasuki peran ditengah masyarakat. Tetapi karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak menuju dewasa dan mungkin karena rasa kurang percaya diri yang dimiliki si remaja dalam penemuan jati dirinya, maka anak akan mengalami krisis identitas. Bila krisis ini tidak segera diatasi, maka akan akan menimbulkan kekacauan identitas, yang menyebabkan anak akan merasa terisolasi, cemas, hampa, dan bimbang.
6.        Keintiman dan keterkucilan (intimacy versus isolation)
Tahap keenam yang dialami pada masa-masa awal dewasa. Pada masa ini individu dihadapi tugas perkembangan pembentukan relasi intim dengan orang lain. Intim disini menurut erikson lebih mengarah pada hubungan seksual  dengan lawan jenis yang dicintai. Bahaya tidak tercapai keintiman pada tahap ini adalah isolasi
7.        Bangkit dan berhenti (generality versus stagnation)
Tahap ketujuh perkembangan yang dialami pada masa pertengahan dewasa. Pada tahap ini cenderng lebih perhatian terhadap apa yang dihasilkan untuk membantu generasi muda mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang berguna (generality).  Perasaan belum melakukan sesuatu untuk menolong generasi berikutnya karena takut untuk mengungkapkan maka kepribadian akan mundur dan mengalami pemiskinan (stagnation)
8.        Integritas dan kekecewaan (integrity versus despair)
Tahap kedelapan yang dialami pada masa dewasa akhir. Pada tahun terakhir kehidupan, kita menoleh ke belakang dan mengevaluasi apa yang telah kita lakukan selama hidup. Jika kita telah melakukan sesuatu yang baik dalam kehidupan lalu maka integritas tercapai. Sebaliknya, jika ia menganggap selama kehidupan lalu dengan cara negatif atau menganggap hidupnya selama ini tidak mempunyai makna,maka akan cenderung merasa bersalah dan putus asa.

D.     Perkembangan Moral Kohlberg
Lawrence Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Kohlberg merumuskan tiga tingkat perkembangan moral, yang masing-masing tahap ditandai oleh dua tahap. Konsep kunci dari teori Kohlberg, ialah internalisasi, yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Tingkat Satu: Penalaran Prakonvensional
Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini anak mengenal moralitas berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan. Anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral tetapi dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal.
Tahap 1 : Orientasi kepatuhan dan hukuman ialah tahap pertama dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini perkembangan moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat dan anak lebih memilih untuk menghindari hukuman.
Tahap 2: Orientasi hedonistik-Intrumental adalah tahap kedua dari teori ini. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan pada imbalan dan kepentingan diri sendiri. Mereka menganggap apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.

Tingkat Dua: Penalaran Konvensional
Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Internalisasi individu pada tahap ini adalah menengah. Seorang anak mentaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orangtua atau masyarakat.  Seorang anak menganggap perbuatan mereka baik apabila mematuhi harapan otoritas atau kelompok mereka.
Tahap 3: Orientasi anak yang baik, pada tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak anak sering mengadopsi standar-standar moral orangtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oleh orangtuanya sebagai seorang perempuan yang baik atau laki-laki yang baik. Mereka menganggap perbuatan mereka akan dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang lain.
Tahap 4: Orientasi keteraturan dan kontrol sosial, Pada tahap ini, pertimbangan moral didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban. Dan mereka menganggap baik jika telah menunaikan semua itu.


Tahap Tiga: Penalaran Pascakonvensional
Penalaran pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi(kata hati).
Tahap 5: Orientasi kontrol sosial-legalistik, pada tahap ini seseorang mengalami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Seseorang menyadari hukum penting bagi masyarakat dan perbuatan akan dinilai baik apabila sesuai dengan hukum yang berlaku.
Tahap 6: Orientasi kata hati, pada tahap ini seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik secara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Psikologi perkembangan adalah cabang dari psikologi yang mempelajari secara sistematis perkembangan perilaku manusia secara ontogenetik, yaitu proses-proses yang mendasari perubahan-perubahan yang terjadi di dalam diri, baik perubahan dalam struktur jasmani, perilaku, maupun fungsi mental manusia sepanjang rentang hidupnya (life-span), yang biasanya dimulai sejak konsepsi hingga menjelang mati.
Dalam pembahasan tentang perkembangan manusia, terdapat banyak teori, antara lain teori perkembangan psikososial Erikson dan perkembangan moral Kohlberg. Menurut teori perkembangan psikososial Erikson tahap-tahap kehidupan sesorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Dalam teori perkembangan psikososial Erikson terdapat delapan tahapan yaitu 1) Tahap kepercayaan dan ketidakpercayaan (trust versus mistrust), 2) Tahap otonomi dengan rasa malu dan keragu-raguan (autonomi versus shame and doubt), 3) Tahap prakarsa dan rasa bersalah (initiative versus guilt), 4) Tahap tekun dan rasa rendah diri (industry versus identity confussion), 5) Tahap identitas dan kebingungan identitas (identity versus identity confusion), 6) Tahap keintiman dan keterkucilan (intimacy versus isolation), 7) Tahap generativitas dan stagnasi (generativity versus stagnation), 8) Tahap integritas dan kekecawaan (intergrity versus despair).
Adapun perkembangan moral menurut Kohlberg dikelompokkan atas tiga tingkatan yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap. Pada tingkat pertama Prakonvensional terdapat dua tahap di dalamnya yaitu: Orientasi kepatuhan dan hukuman serta orientasi hedonistik-instrumental, pada tingkat kedua konvensional terdapat dua tahap di dalamnya yaitu: orientasi anak yang baik serta orientasi keteraturan dan otoritas, pada tingkat ketiga pasca-konvensional terdapat dua tahap di dalamnya yaitu: Orientasi kontrol sosial- legalistik dan orientasi kata hati.

B.     Saran
Dengan adanya pengetahuan mengenai psikologi perkembangan akan dapat menimbulkan kesadaran terhadap diri kita sendiri. Dari kenyataan inilah maka seharusnya mulai dari sekarang kita lebih bersungguh – sungguh dalam mempelajarinya, sehingga kita dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangan dengan baik.




DAFTAR PUSTAKA


Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Muhni, Imam. 1994. Moral dan Religi. Yogyakarta. Kanisius.
Naisaban, Ladilaus. 2004. Para Psikolog Dunia. Jakarta. PT. Gramedia Widiasaranaindonesia.
Nashori, Fuad. 2002. Agenda psikologi Islam. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Shaleh. 2003. Psikologi. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.
dk nia indriyani. 2011. Psikologi. STITI KP Paron. Ngawi

Sabtu, 18 Februari 2012

makalah pkn

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Mengakui adanya keberagaman memang lebih mudah untuk dilakukan sebatas pengucapan melalui mulut, namun untuk bisa hidup berdampingan dalam suatu pengakuan akan adanya keberagaman lebih sulit untuk dilakukan.
Hal yang seringkali membuat hidup dalam keberagaman itu terasa sulit adalah karena adanya arogansi dan dominansi oleh kalangan mayoritas dalam lingkungan tersebut. Adanya tekanan-tekanan terhadap mereka yang tidak sepaham dengan kaum mayoritas menimbulkan ancaman terhadap eksistensi kelompok-kelompok lain dan pada akhirnya terjadinya sebuah monopoli kebenaran di lingkungan tersebut, menganggap yang berada di luar mayoritas adalah sebuah kesalahan dan harus ditiadakan dari lingkungannya.
Mengakui bahwa adanya keberagaman agama di Indonesia itu sendiri memang mudah. Hal ini tampak secara normatif karena agama-agama ini sudah diakui oleh pemerintahan Indonesia sendiri. Namun, mengakui adanya keberagaman agama di Indonesia dalam sebuah ranah sosial dimana masyarakat hidup, akan lebih sulit dariapada sekedar mengakuinya secara normatif.
Hal ini nampak jelas pada gesekan-gesekan yang terjadi antar umat beragama di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai contoh insiden pembakaran gereja, kejadian ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya memimpikan sebuah kerukunan antar umat beragama di Indonesia masih merupakan jalan panjang yang harus ditempuh dengan serius.

B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana hubungan negara dengan agama?
2.         Bagaimana kedudukan agama di Indonesia?
3.         Mengapa Indonesia tidak bisa disebut sebagai Negara Islam?

C.      Tujuan Penulisan Makalah
1.         Mengetahui hubungan negara dengan agama
2.         Mengetahui kedudukan agama di Indonesia
3.         Mengetahui Indonesia tidak bisa disebut sebagai Negara Islam
                                                                                     
D.      Manfaat Penulisan Makalah
1.         Menambah pengetahuan tentang kedudukan agama di negara Indonesia terutama agama Islam.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hubungan Negara dengan Agama
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi  yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.
Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain.
Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.
Agama menurut kamus besar bahasa indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada tuhan, atau juga bisa disebut dengan nama dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Kata "agama" berasal dari bahasa sansekerta  agama berarti "tradisi".Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada tuhan.
Setelah mengetahui pengertian negara dan agama maka kita akan meninjau hubungan agama negara secara ideologi. pertama-tama harus diletakkan pada proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan (aqidah). Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan  adalah pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyyah) tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya (An Nabhani, 1953).
Menurut sosialisme hubungan antara agama dan negara dapat diistilahkan sebagai hubungan yang negatif, dalam arti Sosialisme telah menafikan secara mutlak eksistensi dan pengaruh agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Agama merupakan candu masyarakat yang harus dibuang dan dienyahkan.
Sekulerisme tidak menyatakan agama secara mutlak, namun hanya membatasi perannya dalam mengaturkehidupan. Keberadaan agama memang diakui walaupun hanya formalitas. Namun agama tidak boleh mengatur segala aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainyayang menjadi urusan pemerintah (Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, 2002:62). Agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia dengan tuhannya, sedang hubungaan manusia satu sama lainnya diatur oleh manusia itu sendiri.
Berdasarkan aqidah Kapitalisme, formulasi hubungan agama-negara dapat disebut sebagai hubungan yang separatif, yaitu suatu pandangan yang berusaha memisahkan agama dari arena kehidupan. Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual dalam wilayah privat antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik.
Firman Allah SWT: Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (QS. Al-Baqarah [2]: 208).
Berdasarkan ini, maka seluruh hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus diterapkan kepada manusia, sebagai konsekuensi adanya iman atau Aqidah Islamiyah. Dan karena hukum-hukum Islam ini tidak dapat diterapkan secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan agama-negara dalam pandangan Islam dapat diistilahkan sebagai hubungan positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan negara agar dapat diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi yang parah dalam beragama. Agama tidak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Maka dari itu, tidak heran banyak pendapat para ulama dan cendekiawan Islam yang menegaskan bahwa agama dan negara adalah sesuatu yang tidak mungkin terpisahkan. Keduanya ibarat dua keping mata uang, atau bagaikan dua saudar kembar (tau’amaani). Jika dipisah, hancurlah perikehidupan manusia.
Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishab fil I’tiqad halaman 199 berkata: dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.
Ibnu Taimiyah menyatakan : jika kekuasaan terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.
Kedua pendapat di atas sejalan dengan prinsip Islam bahwa agama dan negara itu tidak mungkin dipisahkan, juga tak mengherankan bila kita dapati bahwa Islam telah wewajibkan umatnya untuk mendirinklan negarta sebagai sarana untuk menjalankan agama secara sempurna.
Hubungan agama dan negara dalam pandangan Islam harus didasarkan pada Aqidah Islamiyah, bukan aqidah yang lain. Aqidah Islamiyah telah memerintahkan penerapan agama secara menyeluruh, yang sangat membutuhkan eksistensi negara. Jadi hubungan agama dan negara sangatlah erat, karena agama (Islam) tanpa negara tidak akan dapat terwujud secara sempurna dalam kehidupan.
B.       Kedudukan Agama di Indonesia
“Agama di negara Indonesia ” adalah sebuah pencarian yang belum selesai dan mungkin tidak akan pernah selesai. Secara formal, menilik dokumen-dokumen terpenting yang menjadi dasar pembentukan negara Indonesia, agama memainkan peran yang sangat penting. Pancasila yang menjadi landasan konseptual kenegaraan dimulai dengan sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”, yang dipahami sebagai “menjiwai sila-sila lainnya”. Dalam Undang-Undang Dasarnya pun, satu pasal berbicara khusus tentang agama.
Dari fakta sila pertama dalam pancasila maka Negara tidak bisa menentukan mana agama resmi dan yang tidak sebab jumlah agama di negara kita sebetulnya banyak sekali. Menurut kami, tidak fair mengatakan agama resmi adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Kalau Anda mengatakan itu agama resmi, maka Anda mengabaikan agama-agama yang sudah ribuan tahun ada di bumi Nusantara. Orang-orang tersebut akan mengatakan, "Loh kok yang diangap resmi agama-agama pendatang, sedangkan kami yang sudah ada beberapa lama di Indonesia tidak diangap sebagai agama." Menurut saya, benar-benar ada ketidakadilan di sini karena agama–agama pribumi(agama asli nusantara) banyak sekali lalu bagaimana nasib mereka.
Sedikit untuk pengetahuan agama- agama pribumi yang sebenarnya ada diindonesia adalah agama-agama tradisional  yang telah ada sebelum agama yang telah diresmikan (islam, kristen katolik, kristen protestan, hindu, budha, konghucu) masuk ke nusantara(Indonesia).
Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia banyak yang tidak lagi mengetahui bahwa sebelum agama-agama “resmi” (agama yang diakui) ; Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha, kemudian kini Konghucu masuk ke nusantara (Indonesia), di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten. Agama Buhun di Jawa Barat. Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wetu Telu di Lombok. Naurus di Pulau Seram. Didalam Negara Republik Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran animisme penyembah berhala / batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan.
Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui di Republik Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil dan sebagainya. Seiring dengan berjalannya waktu dan zaman, Agama Asli Nusantara semakin punah dan menghilang, kalaupun ada yang menganutnya, biasanya berada di daerah pedalaman seperti contohnya pedalaman Sumatra dan pedalaman Irian Jaya.
Beberapa persoalan besar kita berawal dari sini. Salah satunya menyangkut definisi “agama” untuk kepentingan administratif kenegaraan dan legalitasnya. Definisi-definisi agama yang diajukan biasanya mengenai Islam dan Kristen, permasalahan yang sangat kentara misalnya persyaratan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Kuasa, adanya tradisi yang bermula dari figur seorang Nabi, dan kepemilikan kitab suci. Menerapkan definisi itu ke agama-agama lain seperti Hindu, apalagi Budha, tak sepenuhnya memadai. Tetapi nyatanya sejak awal Hindu dan Buddha  disebut sebagai bagian dari “agama yang diakui” negara. Jelas pengikutsertaan Hindu dan Buddha tidak didasarkan pada kecocokan mereka dengan definisi agama yang dibayangkan para pembuat undang-undang, namun didasarkan pada kenyataan sosiologis bahwa ada cukup banyak pemeluk kedua agama itu di Indonesia. Mendefinisikan agama tentu bukan hanya persoalan akademis, namun membawa implikasi-implikasi praktis yang bisa (dan telah) merugikan sebagian warga Indonesia.
Sejak awal sejarah Indonesia, keterlibatan negara dalam urusan-urusan agama tak terelakkan. Sulit menilai apakah ini merupakan sesuatu yang positif atau negatif. Keterlibatan itu lebih merupakan konsekuensi alamiah dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa awal sejarah pembentukan Indonesia sebagai negara merdeka. Keinginan sebagian kelompok Muslim untuk mendasarkan pembentukan negara Indonesia secara lebih eksplisit pada Islam tak medapatkan cukup dukungan. Salah satu jalan yang ditempuh untuk mengakomodasi aspirasi itu adalah pembentukan Departemen Agama hanya beberapa bulan setelah Indonesia merdeka yang akan menaruh perhatian khusus pada urusan-urusan sosial Muslim. Dengan itu, keterlibatan agama yang cukup jauh pada kehidupan beragama bermula. Tetapi selama institusi agama tidak terlalu menuntut kita untuk yakin pada ajaran yang mereka yakini maka hal itu tidak menjadi masalah bagi kita sebagai rakyat indonesia.
Persoalan utama yang kemudian muncul adalah bagaimana negara menampung aspirasi keberagamaan rakyatnya  karena adanya kemajemukan, bagaimana menciptakan rambu-rambu di antara agama-agama. Setiap kebebasan selalu diikuti dengan hukum. “Negara menjamin kebebasan beragama” yang ada dalam UUD 1945 pun berarti juga membatasi kebebasan itu di wilayah-wilayah persentuhan satu komunitas agama dengan komunitas-komunitas lainnya. Perlu diketahui bahwa cara yang paling efektif dalam mengatasi  masalah keberagaman adalah dengan kita saling bertoleransi antara satu dengan yang lain serta pernyataan dan hukuman tegas dari pemerintah bagi pengganggu agama lain.

C.      Indonesia Bukan Negara Islam
Mengakui adanya keberagaman memang lebih mudah untuk dilakukan sebatas pengucapan melalui mulut, namun untuk bisa hidup berdampingan dalam suatu pengakuan akan adanya keberagaman lebih sulit untuk dilakukan.
Hal yang seringkali membuat hidup dalam keberagaman itu terasa sulit adalah karena adanya arogansi dan dominansi oleh kalangan mayoritas dalam lingkungan tersebut. Adanya tekanan-tekanan terhadap mereka yang tidak sepaham dengan kaum mayoritas menimbulkan ancaman terhadap eksistensi kelompok-kelompok lain dan pada akhirnya terjadinya sebuah monopoli kebenaran di lingkungan tersebut, menganggap yang berada di luar mayoritas adalah sebuah kesalahan dan harus ditiadakan dari lingkungannya.
Agama yang diakui saat ini di Indonesia berjumlah enam buah, yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Keberagaman dalam agama ini tentunya akan memaksa setiap orang memiliki probabilitas yang tinggi untuk hidup berdampingan dengan tetangganya yang berbeda agama. Apalagi, hal ini juga diperkuat dengan jaminan langsung dari pemerintah mengenai kebebasan dalam memilih agama dan kepercayaan sehingga menjadi bebas pula setiap orang untuk memilih agamanya tanpa desakkan dari pihak-pihak manapun, termasuk orang-orang di sekitarnya.
Mengakui bahwa adanya keberagaman agama di Indonesia itu sendiri memang mudah. Hal ini tampak secara normatif karena agama-agama ini sudah diakui oleh pemerintahan Indonesia sendiri. Namun, mengakui adanya keberagaman agama di Indonesia dalam sebuah ranah sosial dimana masyarakat hidup, akan lebih sulit daripada sekedar mengakuinya secara normatif.
Hal ini nampak jelas pada gesekan-gesekan yang terjadi antarumat beragama di beberapa daerah di Indonesia. Insiden yang pada akhir-akhir ini terjadi adalah sebuah aksi pembakaran Gereja Katolik St. Albertus di Harapan Indah, Bekasi (17 Desember 2009). Kejadian ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya memimpikan sebuah kerukunan antarumat bergama di Indonesia masih merupakan jalan panjang yang harus ditempuh dengan serius.
Kemudian yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah prinsip apa yang harus ditanamkan pada seluruh lapisan masyarakat agar terjadi kerukunan hidup antarumat beragama? Jika pertanyaan itu diajukan kepada kami, maka kami akan menjawab bahwa harus ditanamkan dengan baik sebuah prinsip demikian : bahwa Indonesia bukan negara agama. Indonesia bukan milik kaum Muslim meskipun mereka mayoritas disini, bukan milik kaum Kristiani, bukan milik kaum Budha, bukan milik kaum Hindu meskipun mereka mayoritas di Bali sebagai salah satu tempat wisata terpopuler di Indonesia, dan juga bukan milik kaum Kong Hu Cu dan juga bukan milik kaum-kaum kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia. Indonesia ini memang ber-Tuhan, namun Indonesia ini bukan milik kaum agama maupun kepercayaan manapun dan tetap tidak bisa dijadikan sebagai sebuah negara agama.
Perdebatan tentang Indonesia sebagai sebuah negara agama yang pernah terjadi saat negara ini hendak didirikan, sudah tidak lagi relevan untuk diperdebatkan. Wacana tersebut sudah lama usang dan sepatutnyalah bagi kita untuk menyadari bahwa Indonesia ini terdiri dari berbagai suku, ras dan juga agama. Jika saja Indonesia berdiri sebagai sebuah negara agama, yang akan timbul hanyalah monopoli kebenaran atas nama agama itu dan hanya akan mengayomi masyarakat dari agama itu saja. Bagaimana dengan yang lainnya? Keadilan tidak akan pernah tegak disana. Yang ada hanyalah sebuah diskriminasi dan akhirnya hanya akan menimbulkan kaos di pelosok-pelosok Nusantara.
Maka sebenarnya tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Yang diperlukan adalah sebuah ketulusan hati untuk mengakui adanya keberagaman agama di Indonesia dan mengakui bahwa Indonesia bukanlah sebuah negara agama, sehingga tidak ada yang merasa superior karena agamanya mayoritas dan tidak perlu juga merasa inferior karena agamanya masuk minoritas. Penganut agama apapun sama kedudukannya di Indonesia ini, karena kita mempunyai tugas yang sama di dunia ini, yakni menjadikan hidup di Indonesia ini lebih baik dan bukan untuk memperdebatkan agama mana yang paling baik dan benar.





BAB II
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Hubungan agama dan negara dalam pandangan Islam harus didasarkan pada Aqidah Islamiyah, bukan aqidah yang lain. Aqidah Islamiyah telah memerintahkan penerapan agama secara menyeluruh, yang sangat membutuhkan eksistensi negara. Jadi, hubungan agama dan negara sangatlah erat karena agama (Islam) tanpa negara tidak akan dapat terwujud secara sempurna dalam kehidupan.
Definisi agama yang diajukan biasanya mengenai Islam dan Kristen, permasalahan yang sangat kentara misalnya persyaratan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Kuasa, adanya tradisi yang bermula dari figur seorang Nabi, dan kepemilikan kitab suci. Menerapkan definisi itu ke agama-agama lain seperti Hindu, apalagi Budha, tak sepenuhnya memadai. Tetapi nyatanya sejak awal Hindu dan Buddha  disebut sebagai bagian dari “agama yang diakui” negara. Jelas pengikutsertaan Hindu dan Budha tidak didasarkan pada kecocokan mereka dengan definisi agama yang dibayangkan para pembuat undang-undang, namun didasarkan pada kenyataan sosiologis bahwa ada cukup banyak pemeluk kedua agama itu di Indonesia. Mendefinisikan agama tentu bukan hanya persoalan akademis, namun membawa implikasi-implikasi praktis yang bisa (dan telah) merugikan sebagian warga Indonesia.
Bahwa Indonesia bukan negara agama. Indonesia bukan milik kaum Muslim meskipun mereka mayoritas disini, bukan milik kaum Kristiani, bukan milik kaum Budha, bukan milik kaum Hindu meskipun mereka mayoritas di Bali sebagai salah satu tempat wisata terpopuler di Indonesia, dan juga bukan milik kaum Kong Hu Cu dan juga bukan milik kaum-kaum kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia. Indonesia ini memang ber-Tuhan, namun Indonesia ini bukan milik kaum agama maupun kepercayaan manapun dan tetap tidak bisa dijadikan sebagai sebuah negara agama.

B.     Saran
Bangsa Indonesia memerlukan sebuah ketulusan hati untuk mengakui adanya keberagaman agama di Indonesia dan mengakui bahwa Indonesia bukanlah sebuah negara agama, sehingga tidak ada yang merasa superior karena agamanya mayoritas dan tidak perlu juga merasa inferior karena agamanya masuk minoritas. Penganut agama apapun sama kedudukannya di Indonesia ini, karena kita mempunyai tugas yang sama di dunia ini, yakni menjadikan hidup di Indonesia ini lebih baik dan bukan untuk memperdebatkan agama mana yang paling baik dan benar.



DAFTAR PUSTAKA

http://filsafat.kompasiana.com/2010/01/15/indonesia-bukan-negara-agama.html

http://jurnalhukum.blogspot.com/2008/08/indonesia-bukan-negara-agama-ataupun.html

http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option= comcontent&view= article&id= 1039  :agama-dan-negara&catid=25 :artikel-rektor&Itemid=168