kita tidak akan pernah meraih apa yang ada di depan kita, bila kita tidak mau melepaskan apa yang ada di belakang kita

mutiara kata

semua orang dapat membahagiakanmu dengan sesuatu yang istimewa, tapi hanya seorang istimewa yang dapat membahagiakanmu tanpa apapun, Insya Allah itu aku

Sabtu, 18 Februari 2012

makalah pkn

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Mengakui adanya keberagaman memang lebih mudah untuk dilakukan sebatas pengucapan melalui mulut, namun untuk bisa hidup berdampingan dalam suatu pengakuan akan adanya keberagaman lebih sulit untuk dilakukan.
Hal yang seringkali membuat hidup dalam keberagaman itu terasa sulit adalah karena adanya arogansi dan dominansi oleh kalangan mayoritas dalam lingkungan tersebut. Adanya tekanan-tekanan terhadap mereka yang tidak sepaham dengan kaum mayoritas menimbulkan ancaman terhadap eksistensi kelompok-kelompok lain dan pada akhirnya terjadinya sebuah monopoli kebenaran di lingkungan tersebut, menganggap yang berada di luar mayoritas adalah sebuah kesalahan dan harus ditiadakan dari lingkungannya.
Mengakui bahwa adanya keberagaman agama di Indonesia itu sendiri memang mudah. Hal ini tampak secara normatif karena agama-agama ini sudah diakui oleh pemerintahan Indonesia sendiri. Namun, mengakui adanya keberagaman agama di Indonesia dalam sebuah ranah sosial dimana masyarakat hidup, akan lebih sulit dariapada sekedar mengakuinya secara normatif.
Hal ini nampak jelas pada gesekan-gesekan yang terjadi antar umat beragama di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai contoh insiden pembakaran gereja, kejadian ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya memimpikan sebuah kerukunan antar umat beragama di Indonesia masih merupakan jalan panjang yang harus ditempuh dengan serius.

B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana hubungan negara dengan agama?
2.         Bagaimana kedudukan agama di Indonesia?
3.         Mengapa Indonesia tidak bisa disebut sebagai Negara Islam?

C.      Tujuan Penulisan Makalah
1.         Mengetahui hubungan negara dengan agama
2.         Mengetahui kedudukan agama di Indonesia
3.         Mengetahui Indonesia tidak bisa disebut sebagai Negara Islam
                                                                                     
D.      Manfaat Penulisan Makalah
1.         Menambah pengetahuan tentang kedudukan agama di negara Indonesia terutama agama Islam.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hubungan Negara dengan Agama
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi  yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.
Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain.
Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.
Agama menurut kamus besar bahasa indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada tuhan, atau juga bisa disebut dengan nama dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Kata "agama" berasal dari bahasa sansekerta  agama berarti "tradisi".Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada tuhan.
Setelah mengetahui pengertian negara dan agama maka kita akan meninjau hubungan agama negara secara ideologi. pertama-tama harus diletakkan pada proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan (aqidah). Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan  adalah pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyyah) tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya (An Nabhani, 1953).
Menurut sosialisme hubungan antara agama dan negara dapat diistilahkan sebagai hubungan yang negatif, dalam arti Sosialisme telah menafikan secara mutlak eksistensi dan pengaruh agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Agama merupakan candu masyarakat yang harus dibuang dan dienyahkan.
Sekulerisme tidak menyatakan agama secara mutlak, namun hanya membatasi perannya dalam mengaturkehidupan. Keberadaan agama memang diakui walaupun hanya formalitas. Namun agama tidak boleh mengatur segala aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainyayang menjadi urusan pemerintah (Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, 2002:62). Agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia dengan tuhannya, sedang hubungaan manusia satu sama lainnya diatur oleh manusia itu sendiri.
Berdasarkan aqidah Kapitalisme, formulasi hubungan agama-negara dapat disebut sebagai hubungan yang separatif, yaitu suatu pandangan yang berusaha memisahkan agama dari arena kehidupan. Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual dalam wilayah privat antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik.
Firman Allah SWT: Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (QS. Al-Baqarah [2]: 208).
Berdasarkan ini, maka seluruh hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus diterapkan kepada manusia, sebagai konsekuensi adanya iman atau Aqidah Islamiyah. Dan karena hukum-hukum Islam ini tidak dapat diterapkan secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan agama-negara dalam pandangan Islam dapat diistilahkan sebagai hubungan positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan negara agar dapat diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi yang parah dalam beragama. Agama tidak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Maka dari itu, tidak heran banyak pendapat para ulama dan cendekiawan Islam yang menegaskan bahwa agama dan negara adalah sesuatu yang tidak mungkin terpisahkan. Keduanya ibarat dua keping mata uang, atau bagaikan dua saudar kembar (tau’amaani). Jika dipisah, hancurlah perikehidupan manusia.
Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishab fil I’tiqad halaman 199 berkata: dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.
Ibnu Taimiyah menyatakan : jika kekuasaan terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.
Kedua pendapat di atas sejalan dengan prinsip Islam bahwa agama dan negara itu tidak mungkin dipisahkan, juga tak mengherankan bila kita dapati bahwa Islam telah wewajibkan umatnya untuk mendirinklan negarta sebagai sarana untuk menjalankan agama secara sempurna.
Hubungan agama dan negara dalam pandangan Islam harus didasarkan pada Aqidah Islamiyah, bukan aqidah yang lain. Aqidah Islamiyah telah memerintahkan penerapan agama secara menyeluruh, yang sangat membutuhkan eksistensi negara. Jadi hubungan agama dan negara sangatlah erat, karena agama (Islam) tanpa negara tidak akan dapat terwujud secara sempurna dalam kehidupan.
B.       Kedudukan Agama di Indonesia
“Agama di negara Indonesia ” adalah sebuah pencarian yang belum selesai dan mungkin tidak akan pernah selesai. Secara formal, menilik dokumen-dokumen terpenting yang menjadi dasar pembentukan negara Indonesia, agama memainkan peran yang sangat penting. Pancasila yang menjadi landasan konseptual kenegaraan dimulai dengan sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”, yang dipahami sebagai “menjiwai sila-sila lainnya”. Dalam Undang-Undang Dasarnya pun, satu pasal berbicara khusus tentang agama.
Dari fakta sila pertama dalam pancasila maka Negara tidak bisa menentukan mana agama resmi dan yang tidak sebab jumlah agama di negara kita sebetulnya banyak sekali. Menurut kami, tidak fair mengatakan agama resmi adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Kalau Anda mengatakan itu agama resmi, maka Anda mengabaikan agama-agama yang sudah ribuan tahun ada di bumi Nusantara. Orang-orang tersebut akan mengatakan, "Loh kok yang diangap resmi agama-agama pendatang, sedangkan kami yang sudah ada beberapa lama di Indonesia tidak diangap sebagai agama." Menurut saya, benar-benar ada ketidakadilan di sini karena agama–agama pribumi(agama asli nusantara) banyak sekali lalu bagaimana nasib mereka.
Sedikit untuk pengetahuan agama- agama pribumi yang sebenarnya ada diindonesia adalah agama-agama tradisional  yang telah ada sebelum agama yang telah diresmikan (islam, kristen katolik, kristen protestan, hindu, budha, konghucu) masuk ke nusantara(Indonesia).
Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia banyak yang tidak lagi mengetahui bahwa sebelum agama-agama “resmi” (agama yang diakui) ; Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha, kemudian kini Konghucu masuk ke nusantara (Indonesia), di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten. Agama Buhun di Jawa Barat. Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wetu Telu di Lombok. Naurus di Pulau Seram. Didalam Negara Republik Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran animisme penyembah berhala / batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan.
Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui di Republik Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil dan sebagainya. Seiring dengan berjalannya waktu dan zaman, Agama Asli Nusantara semakin punah dan menghilang, kalaupun ada yang menganutnya, biasanya berada di daerah pedalaman seperti contohnya pedalaman Sumatra dan pedalaman Irian Jaya.
Beberapa persoalan besar kita berawal dari sini. Salah satunya menyangkut definisi “agama” untuk kepentingan administratif kenegaraan dan legalitasnya. Definisi-definisi agama yang diajukan biasanya mengenai Islam dan Kristen, permasalahan yang sangat kentara misalnya persyaratan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Kuasa, adanya tradisi yang bermula dari figur seorang Nabi, dan kepemilikan kitab suci. Menerapkan definisi itu ke agama-agama lain seperti Hindu, apalagi Budha, tak sepenuhnya memadai. Tetapi nyatanya sejak awal Hindu dan Buddha  disebut sebagai bagian dari “agama yang diakui” negara. Jelas pengikutsertaan Hindu dan Buddha tidak didasarkan pada kecocokan mereka dengan definisi agama yang dibayangkan para pembuat undang-undang, namun didasarkan pada kenyataan sosiologis bahwa ada cukup banyak pemeluk kedua agama itu di Indonesia. Mendefinisikan agama tentu bukan hanya persoalan akademis, namun membawa implikasi-implikasi praktis yang bisa (dan telah) merugikan sebagian warga Indonesia.
Sejak awal sejarah Indonesia, keterlibatan negara dalam urusan-urusan agama tak terelakkan. Sulit menilai apakah ini merupakan sesuatu yang positif atau negatif. Keterlibatan itu lebih merupakan konsekuensi alamiah dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa awal sejarah pembentukan Indonesia sebagai negara merdeka. Keinginan sebagian kelompok Muslim untuk mendasarkan pembentukan negara Indonesia secara lebih eksplisit pada Islam tak medapatkan cukup dukungan. Salah satu jalan yang ditempuh untuk mengakomodasi aspirasi itu adalah pembentukan Departemen Agama hanya beberapa bulan setelah Indonesia merdeka yang akan menaruh perhatian khusus pada urusan-urusan sosial Muslim. Dengan itu, keterlibatan agama yang cukup jauh pada kehidupan beragama bermula. Tetapi selama institusi agama tidak terlalu menuntut kita untuk yakin pada ajaran yang mereka yakini maka hal itu tidak menjadi masalah bagi kita sebagai rakyat indonesia.
Persoalan utama yang kemudian muncul adalah bagaimana negara menampung aspirasi keberagamaan rakyatnya  karena adanya kemajemukan, bagaimana menciptakan rambu-rambu di antara agama-agama. Setiap kebebasan selalu diikuti dengan hukum. “Negara menjamin kebebasan beragama” yang ada dalam UUD 1945 pun berarti juga membatasi kebebasan itu di wilayah-wilayah persentuhan satu komunitas agama dengan komunitas-komunitas lainnya. Perlu diketahui bahwa cara yang paling efektif dalam mengatasi  masalah keberagaman adalah dengan kita saling bertoleransi antara satu dengan yang lain serta pernyataan dan hukuman tegas dari pemerintah bagi pengganggu agama lain.

C.      Indonesia Bukan Negara Islam
Mengakui adanya keberagaman memang lebih mudah untuk dilakukan sebatas pengucapan melalui mulut, namun untuk bisa hidup berdampingan dalam suatu pengakuan akan adanya keberagaman lebih sulit untuk dilakukan.
Hal yang seringkali membuat hidup dalam keberagaman itu terasa sulit adalah karena adanya arogansi dan dominansi oleh kalangan mayoritas dalam lingkungan tersebut. Adanya tekanan-tekanan terhadap mereka yang tidak sepaham dengan kaum mayoritas menimbulkan ancaman terhadap eksistensi kelompok-kelompok lain dan pada akhirnya terjadinya sebuah monopoli kebenaran di lingkungan tersebut, menganggap yang berada di luar mayoritas adalah sebuah kesalahan dan harus ditiadakan dari lingkungannya.
Agama yang diakui saat ini di Indonesia berjumlah enam buah, yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Keberagaman dalam agama ini tentunya akan memaksa setiap orang memiliki probabilitas yang tinggi untuk hidup berdampingan dengan tetangganya yang berbeda agama. Apalagi, hal ini juga diperkuat dengan jaminan langsung dari pemerintah mengenai kebebasan dalam memilih agama dan kepercayaan sehingga menjadi bebas pula setiap orang untuk memilih agamanya tanpa desakkan dari pihak-pihak manapun, termasuk orang-orang di sekitarnya.
Mengakui bahwa adanya keberagaman agama di Indonesia itu sendiri memang mudah. Hal ini tampak secara normatif karena agama-agama ini sudah diakui oleh pemerintahan Indonesia sendiri. Namun, mengakui adanya keberagaman agama di Indonesia dalam sebuah ranah sosial dimana masyarakat hidup, akan lebih sulit daripada sekedar mengakuinya secara normatif.
Hal ini nampak jelas pada gesekan-gesekan yang terjadi antarumat beragama di beberapa daerah di Indonesia. Insiden yang pada akhir-akhir ini terjadi adalah sebuah aksi pembakaran Gereja Katolik St. Albertus di Harapan Indah, Bekasi (17 Desember 2009). Kejadian ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya memimpikan sebuah kerukunan antarumat bergama di Indonesia masih merupakan jalan panjang yang harus ditempuh dengan serius.
Kemudian yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah prinsip apa yang harus ditanamkan pada seluruh lapisan masyarakat agar terjadi kerukunan hidup antarumat beragama? Jika pertanyaan itu diajukan kepada kami, maka kami akan menjawab bahwa harus ditanamkan dengan baik sebuah prinsip demikian : bahwa Indonesia bukan negara agama. Indonesia bukan milik kaum Muslim meskipun mereka mayoritas disini, bukan milik kaum Kristiani, bukan milik kaum Budha, bukan milik kaum Hindu meskipun mereka mayoritas di Bali sebagai salah satu tempat wisata terpopuler di Indonesia, dan juga bukan milik kaum Kong Hu Cu dan juga bukan milik kaum-kaum kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia. Indonesia ini memang ber-Tuhan, namun Indonesia ini bukan milik kaum agama maupun kepercayaan manapun dan tetap tidak bisa dijadikan sebagai sebuah negara agama.
Perdebatan tentang Indonesia sebagai sebuah negara agama yang pernah terjadi saat negara ini hendak didirikan, sudah tidak lagi relevan untuk diperdebatkan. Wacana tersebut sudah lama usang dan sepatutnyalah bagi kita untuk menyadari bahwa Indonesia ini terdiri dari berbagai suku, ras dan juga agama. Jika saja Indonesia berdiri sebagai sebuah negara agama, yang akan timbul hanyalah monopoli kebenaran atas nama agama itu dan hanya akan mengayomi masyarakat dari agama itu saja. Bagaimana dengan yang lainnya? Keadilan tidak akan pernah tegak disana. Yang ada hanyalah sebuah diskriminasi dan akhirnya hanya akan menimbulkan kaos di pelosok-pelosok Nusantara.
Maka sebenarnya tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Yang diperlukan adalah sebuah ketulusan hati untuk mengakui adanya keberagaman agama di Indonesia dan mengakui bahwa Indonesia bukanlah sebuah negara agama, sehingga tidak ada yang merasa superior karena agamanya mayoritas dan tidak perlu juga merasa inferior karena agamanya masuk minoritas. Penganut agama apapun sama kedudukannya di Indonesia ini, karena kita mempunyai tugas yang sama di dunia ini, yakni menjadikan hidup di Indonesia ini lebih baik dan bukan untuk memperdebatkan agama mana yang paling baik dan benar.





BAB II
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Hubungan agama dan negara dalam pandangan Islam harus didasarkan pada Aqidah Islamiyah, bukan aqidah yang lain. Aqidah Islamiyah telah memerintahkan penerapan agama secara menyeluruh, yang sangat membutuhkan eksistensi negara. Jadi, hubungan agama dan negara sangatlah erat karena agama (Islam) tanpa negara tidak akan dapat terwujud secara sempurna dalam kehidupan.
Definisi agama yang diajukan biasanya mengenai Islam dan Kristen, permasalahan yang sangat kentara misalnya persyaratan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Kuasa, adanya tradisi yang bermula dari figur seorang Nabi, dan kepemilikan kitab suci. Menerapkan definisi itu ke agama-agama lain seperti Hindu, apalagi Budha, tak sepenuhnya memadai. Tetapi nyatanya sejak awal Hindu dan Buddha  disebut sebagai bagian dari “agama yang diakui” negara. Jelas pengikutsertaan Hindu dan Budha tidak didasarkan pada kecocokan mereka dengan definisi agama yang dibayangkan para pembuat undang-undang, namun didasarkan pada kenyataan sosiologis bahwa ada cukup banyak pemeluk kedua agama itu di Indonesia. Mendefinisikan agama tentu bukan hanya persoalan akademis, namun membawa implikasi-implikasi praktis yang bisa (dan telah) merugikan sebagian warga Indonesia.
Bahwa Indonesia bukan negara agama. Indonesia bukan milik kaum Muslim meskipun mereka mayoritas disini, bukan milik kaum Kristiani, bukan milik kaum Budha, bukan milik kaum Hindu meskipun mereka mayoritas di Bali sebagai salah satu tempat wisata terpopuler di Indonesia, dan juga bukan milik kaum Kong Hu Cu dan juga bukan milik kaum-kaum kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia. Indonesia ini memang ber-Tuhan, namun Indonesia ini bukan milik kaum agama maupun kepercayaan manapun dan tetap tidak bisa dijadikan sebagai sebuah negara agama.

B.     Saran
Bangsa Indonesia memerlukan sebuah ketulusan hati untuk mengakui adanya keberagaman agama di Indonesia dan mengakui bahwa Indonesia bukanlah sebuah negara agama, sehingga tidak ada yang merasa superior karena agamanya mayoritas dan tidak perlu juga merasa inferior karena agamanya masuk minoritas. Penganut agama apapun sama kedudukannya di Indonesia ini, karena kita mempunyai tugas yang sama di dunia ini, yakni menjadikan hidup di Indonesia ini lebih baik dan bukan untuk memperdebatkan agama mana yang paling baik dan benar.



DAFTAR PUSTAKA

http://filsafat.kompasiana.com/2010/01/15/indonesia-bukan-negara-agama.html

http://jurnalhukum.blogspot.com/2008/08/indonesia-bukan-negara-agama-ataupun.html

http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option= comcontent&view= article&id= 1039  :agama-dan-negara&catid=25 :artikel-rektor&Itemid=168


Tidak ada komentar:

Posting Komentar